
Media Tata Ruang – Kembali kita diingatkan oleh viralnya video sampah yang mengalir menuju Citarum, sebuah budaya buang sampah ke “belakang” rumah kita. Masyarakat Jawa Barat yang tinggal di pinggiran megapolitan Bandung pun tak berdaya menghadapi aliran sampah menjijikkan yang terus memberikan gambaran siapa kita manusia sebenarnya.
Isu semakin memanas karena saat ini memasuki masa Pilkada 2018, semua calon pejabat mengembangkan sayap bak burung merak. Mencoba menarik perhatian para pemilihnya, namun terlihat sangat kurang bermutu dalam memilih topik perjuangannya. Budaya sampah menyampah dan mengurus sampah kelihatannya bukan pilihan burung merak.
Sama dengan sampah, tarian dan “folk dances” adalah bagian budaya, yang merekat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Maka, ketika ada pemerintah yang tidak peduli sampah, tapi melarang-larang tarian tradisional, alangkah absurdnya. Kita masih ingat ketika masyarakat dikagetkan dengan nuansa larangan tari Jaipong di Jawa Barat, dengan dalih kurangi 3G, “geol, gitek dan goyang”.
Potret di atas adalah gambar Jawa Barat, provinsi dengan pemilih terbanyak. Hampir semua statistiknya terbanyak. Terbanyak jumlah penduduknya, terbanyak jumlah pemilihnya. Demikian juga, terbanyak jumlah ahli profesional planolog atau perencana kotanya!
Apabila penguasa selalu mempunyai pikiran-pikiran “tidak bersih” dalam melihat fenomena budaya masyarakat, ini akan sangat memengaruhi bagaimana kebijakan publiknya. Maka ketika kita mencoba membedah isu perencanaan dan tata ruang di Jawa Barat, kita harus terlebih dahulu mangajak para burung merak berpikir normal, yaitu terbuka pada kearifan budaya yang ada.
Dalam konteks perencanaan Jawa barat, kontestasi calon gubernur adalah pertarungan untuk mencari perencana utama.
Sebagai gubernur, mereka harus memiliki atau melek kecakapan khusus bidang perencanaan tata ruang. Niscaya, pengetahuan untuk merencana ini merupakan pra-syarat khusus, karena masa depan Jawa barat akan sangat ditentukan oleh kualitas rencana, pelaksanaan serta pengendaliannya.
Inovasi di level kebijakan dan program daerah menjadi bagian penting dari proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang, agar provinsi, kota dan kabupaten menjamin inklusifitas, berkeadilan dan dinamis.
Begitu pula tantangan bagi para planolog, ahli perencanaan dan tata ruang di Jawa Barat. Banyak di antara kami pun terpanggil untuk menjadi sekodan atau staf ahli bagi para burung merak.
Masa kampanye merupakan kesempatan baik untuk memperkenalkan terobosan-terobosan teknokratik tata ruang yang dapat menjadi solusi bagi Jawa Barat ke depan kepada para calon gubernur.
Para perencana ditantang untuk dapat melihat kedaruratan tata ruang yang terjadi saat ini di Jawa Barat, yang terlihat dalam berbagai krisis Citarum, sampah, ketimpangan wilayah bagian tengah dengan selatan, kemiskinan, dan tekanan ekonomi dan sosial di perkotaan.
Isu Jawa barat juga sangat melekat dengan persoalan urbanisasi dan perangai politisi dalam melihat posisi Jabar dalam konteks megapolitan Jakarta dengan total mencapai 30 juta orang. Kemampuan pemimpin dan teknokratnya dalam bekerja sama dan berkolaborasi dengan Jakarta menjadi utama. Tidak bisa semangat ekskulif dipelihara, dan seolah Jawa Barat tidak peduli terhadap persoalan megapolitan.
Permasalahan daya dukung DAS Citarum, Ciliwung, Cisadane adalah krisis bersama. Persoalan konektivitas pendukung kegiatan ekonomi, sosial kemasyarakatan para komuter, krisis air bersih dan sanitasi serta kongesti lalu lintas, merupakan kerja bersama.
Gubernur baru harus segera meninjau kembali kebijakan metropolitan Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Purwakarta (Botabekpur) dalam Perda No 2 tahun 2014 yang mengatur upaya pengelolaan pembangunan metropolitan dan pusat pertumbuhan.
Kebijakan urbanisasi harus tegas dengan tujuan perbaikan ekonomi dan peningkatan penghasilan masyarakat pedesaan, peningkatan kualitas SDM masyarakat perkotaan dan desa, dan peningkatan infrastruktur. Mengurangi kesenjangan harus merupakan roh utama kebijakan urbanisasi, ditambah dengan peningkatan utilitas dan fasilitas perkotaan di kawasan pedesaan.
Dalam artikel sebelumnya saya pernah mengangkat ada risiko dehumanisasi perencanaan, yang apabila dibiarkan akan menghasilkan ruang-ruang yang tidak layak huni karena menerobos daya dukung lingkungan (carrying capacity), delineasi ekoregion, dan optimasi ruang.
Perlu diperkuat budaya para pemimpin untuk menghadirkan negara dalam ruang hidup warga, meningkatkan kualitas hidup, dan membangun dari pinggiran, menjadi ruh bagi visi menata ruang kita.
Tuhan menciptakan priangan saat sedang tersenyum. Lengkap dengan keindahan budaya dan manusianya. Maka tak terlalu berlebihan, kalau kita punya harapan besar pada Jawa Barat.
Tarian para millennial tidak lagi 3G bapak-bapak! Tapi sudah 4G, geol, gitek, goyang dan go-international!
Minggu, 28 Januari 2018 | 07:00 WIB
Oleh: Bernardus Djonoputro
alfian
Januari 28, 2018 at 13:50
Sangat setuju…hingga saat ini, peegantian pemimpin sdh setiap 5tahunan berganti…tdk ada satu pun yg kuat dlm visi misinya masalah tata ruang… yaa, kembali lagi ttg tata ruang ini hanya difahami segelintir elit, tentu gak laku dijual dilevel grass rooth. Karna kembali lagi budaya pwmimpin tdk tahu bagaimana cara menghadirkan Negara dalam ruang hidup warganya…??