
Mediatataruang.com – Mafia pertanahan masih tumbuh subur seiring dengan tingginya kebutuhan masyarakat akan ketersediaan lahan pertanahan. Dari sejumlah kasus sengketa tanah yang terjadi, baik di kota besar maupun daerah, diduga kuat selalu melibatkan mafia tanah.
Ketua Umum Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan yang juga mantan Pimpinan Panja Pertanahan Komisi II DPR periode 2004-2009, H Anhar, menjelaskan, ada sejumlah masalah yang menyebabkan maraknya mafia tanah.
“Pertama, masyarakat kurang menyadari atau tidak punya uang yang cukup untuk mengurus dan mendaftarkan bukti kepemilikannya yang berupa girik adat yang dimilikinya ke BPN,” kata H Anhar, Jumat (7/9) di Jakarta, seperti dikutip suara pembaruan.
Selain itu, permasalahan lain yakni adanya oknum-oknum aparat desa terutama lurah yang mengetahui betul status tanah di lingkungannya yang kemudian tergoda dengan bujuk rayu mafia tanah untuk menerbitkan girik atau perfonding palsu dengan dilengkapi surat-surat pendukung lainnya seperti dari RT/RW sampai ke tingkat kecamatan.
Menurutnya, saat proses penerbitan sertifikat biasanya juga ada permainan saat pengumuman melalui media nasional dengan jangka waktu sampai satu bulan. Kondisi ini juga yang diatur oleh si mafia saat media menerbitkannya.
“Bisa jadi si mafia memborong semua media yang akan diedarkan di lokasi pemilik tanah itu berada. Bahkan bisa juga dengan cara bermain dengan media hanya mempublishnya di beberapa lembar saja sebagai bukti bahwa telah dilakukan pengumuman lewat media dan itu sah secara prosedural,” ucapnya.
Oknum BPN
Dijelaskan Anhar, pada dasarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga pencatat pengadministrasi surat-surat yang berkaitan dengan Tanah. BPN lembaga yang tidak bisa proaktif karena lembaga ini hanya bisa mencatat saja.
“Maka siapapun yang datang membawakan berkas-berkas tanah untuk didaftarkan, maka BPN wajib menerima dan mendaftarkannya,” ucap pengamat pertanahan itu.
Selanjutnya ketika si pendaftar melanjutkan dengan memohonkan untuk memiliki hak atas tanah yang didaftarkannya, BPN menjalankan proses administrasi sebagai mana yang diatur dalam UU. Salah satu syaratnya dengan terlebih dahulu mengumumkannya melalui media nasional selama dua bulan berturut-turut.
Ketika setelah waktu masa pengumuman tersebut dilaksanakan dan tidak ada pihak yang membantah atau menggugat, maka prosesnya akan dilanjutkan sampai terbitnya sertifikat.
Jika proses tersebut benar adanya, maka terbitlah sertifikat yang benar dan sah, di mana BPN tidak bisa dipersalahkan. Namun jika pada kemudian hari baru muncul ada pihak yang menggugat dengan Bukti Girik asli, maka BPN hanya bisa menyarankan untuk menggugat ke pengadilan karena BPN tidak memiliki kapasitas untuk itu.
“Jika terjadi perkara masuk kepengadilan maka bisa dipastikan yang punya uanglah yang akan menang dan berhasil merampas tanah-tanah Rakyat yang miskin dan yang tidak mampu membayar pengacara,” katanya.
Namun demikian, dirinya juga meyakini, mafia tanah tidak hanya melibatkan segelintir orang yang dimulai dari perangkat desa. Namun beberapa diantaranya juga justru melibatkan oknum BPN.
“Sangat memungkinkan (BPN terlibat) karena peluang itu banyak tersedia bagi oknum-oknum BPN yang kurang bermoral dengan bujuk rayu sang mafia mereka ikut serta menjadi bagian dari mafia,” ujar Anhar.
Bahkan, menurutnya, tidak jarang masih ada oknum BPN yang menjalankan prinsip “Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah“. Disinilah oknum pejabat BPN yang tidak bermoral tersebut berperan.
Sebelumnya, Sub Direktorat Harta Benda Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, membongkar praktik pemalsuan dokumen kepemilikan tanah yang dilakukan aparat desa.
Aparat desa itu mulai dari camat, kepala desa, kepala dusun, dan staf di Desa Segaramakmur, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Polisi telah menetapkan 11 tersangka dalam kasus mafia tanah itu.
Pengungkapan kasus tersebut bermula ketika korban atas nama Lilis Suryani melaporkan kasus dugaan pemalsuan dokumen pada 3 Juli 2014 lalu.
Lilis merupakan pemilik tanah yang sah seluas 7.700 meter berdasarkan SHM Nomor 163 atas nama Lina. Nilai tanah tersebut saat ini mencapai Rp 23 miliar.
Diketahui, modus yang dilakukan para tersangka adalah saling bekerja sama antaroknum perangkat desa mulai dari camat, kepala desa, kepala dusun hinga staf, membuat dokumen palsu, mendatangi korban dan melakukan sengketa tanah. (*)
Facebook
Twitter
Google+
RSS