
Mengapa alih fungsi lahan di DAS Cimanuk Hulu dibiarkan?
Sebenarnya pernyataan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat yang dikutip di berbagai media massa bahwa terdapat kejanggalan di lahan kawasan hulu sungai Cimanuk Kabupaten Garut sebagai penyebab banjir bandang yang telah memporak-porandakan ratusan rumah di tujuh kecamatan di Garut, bukan hal yang mengejutkan bagi masyarakat Garut khususnya dan pemerhati lingkungan pada umumnya. Melalui fasilitas Goggle Earth pun secara trasparan siapapun kita dapat melihat kondisi itu. Berbagai penelitian pun telah banyak yang mengingatkan bahwa hulu DAS Cimanuk dalam kondisi sangat kritis. Demikian juga masyarakat umumpun tahu bahwa penyebab utamanya adalah okupasi dan alih fungsi kawasan lindung seperti hutan lindung menjadi lahan pertanian intensif, serta penggunaan lahan milik di kawasan lindung sudah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. Mengapa demikian? Padahal Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut telah memiliki RTRW yang sangat ideal baik secara local maupun regional.
Regulasi public terkait keputusan penggunaan lahan, khususnya lahan milik (private land), seperti rencana tata ruang (land use planning), telah lama menjadi isu penting di berbagai negara. Dalam aktivitas konservasi DAS, kebijakan pembatasan dan peraturan larangan sudah lama dipandang tidak popular lagi, karena hal ini mengarah pada penggunaan lahan secara paksa, dan apabila melalui kekuatan proyek merupakan bentuk pemaksaan penerapan upaya konservasi. Balsdon (2003) dalam Hernawan (2010), menyatakan bahwa di berbagai negara penerapan undang-undang atau mekanisme komunitas local dalam pengendalian penggunaan lahan milik dinilai kurang efektif. Menurut Zhang dan Laband (2004), hal ini disebabkan pengaturan tersebut bersifat command and control, sehingga sering terjebak pada mekanisme administrasi dan menimbulkan biaya transaksi yang tinggi dan pada akhirnya implementasi pengaturan penggunaan lahan melalui undang-undang dipandang tidak efektif.
Dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2009 – 2029, sudah terungkap bahwa dalam pencapaian kawasan lindung 45% dari luas total Jawa Barat, Kabupaten Garut memiliki kontribusi terbesar. Dari luas wilayah daratan Kabupaten Garut sekitar 308,989 ha, menurut RTRW Provinsi Jawa Barat tersebut, ditetapkan 261,837 ha atau 85% dari luas daratannya sebagai kawasan lindung Jawa Barat. Apa yang bisa dikembangkan di Kabupaten Garut dengan luas 15% dari wilayahnya untuk kegiatan pembangunan ekonomi. Menurut Sudyahutomo (2008), konsekwensi apabila ada kerugian akibat Pengaturan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan pemilik tanah ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan oleh pemilik tanah itu sendiri. Hal ini didasarkan aturan bahwa rencana tata ruang yang sudah diundangkan mempunyai kekuatan hukum untuk ditaati bagi warga negaranya. Kerugian bagi Pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki arahan Kawasan Lindung yang besar akan membatasi gerak pembangunannya. Sedangkan kerugian bagi pemilik tanah adalah dibatasinya penggunaan tanah sehingga kehilangan opportunitas nya. Bagaimana Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersikap terhadap keputusan tersebut untuk mendukung pembangunan tersebut? Sepertinya tidak ada upaya yang signifikan terhadap masalah ini.
Jadi sebenarnya apa yang menyebabkan alih fungsi kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi (public land), dan tidak tunduknya pemilik dan pengguna lahan milik di kawasan lindung sehingga menyebabkan terjadinya banjir bandang di Kabupaten Garut, menurut penulis lebih disebabkan ketidak-adilan dalam pemanfaatan ruang akibat penetapan RTRW Provinsi Jawa Barat.
Bagaimana Jalan Keluarnya?
Dalam kondisi demikian, maka semestinya Pemerintah Provinsi Jawa Barat dapat memberikan keadilan bagi pemerintah dan pemilik lahan di Kabupaten Garut untuk maju bersama. Bentuknya adalah harus adanya kompensasi dari setiap kerugian akibat rencana tata ruang provinsi bagi pemerintah kabupaten/kota dan pemilik lahan di kawasan lindung. Sebenarnya bentuk kompensasi sudah tertuang dalam Perda No. 22 Tahun 2010, dengan beberapa arahan pemberian insentif berikut:
- Pemberian insentif sebagai bagian dari arahan pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 63 huruf c);
- Arahan siapa yang diberikan insentif, bentuk insentif kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, bentuk insentif kepada dunia usaha dan masyarakat (Pasal 105)
- Upaya Pemerintah Provinsi mendapatkan insentif dan pembagian peran dalam pembiayaan (role sharing) dari provinsi yang berdekatan (Pasal 106).
- Pemberian jasa lingkungan dan apresiasi terhadap upaya perwujudan program pencapaian luas kawasan lindung di wilayahnya berupa bantuan keuangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai proprosinya dalam perwujudan program pencapaian kawasan lindung 45% Jawa Barat (Pasal 107 ayat 1),
- Pemerintah Provinsi menjadi fasilitator dalam pembagian peran dalam pembiayaan (role sharing) antar kabupaten/kota yang secara geografis terletak di daerah hulu dan hilir DAS (Pasal 107 ayat 2),
- Gubernur akan mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang tata cara dan mekanisme pemberian insentif (Pasal 109)
Demikian juga sebaliknya, Perda No. 22 Tahun 2010 telah memberikan arahan pengenaan disinsentif yang dibebankan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, dunia usaha dan masyarakat yang dalam melaksanakan pembangunannya tidak sesuai dengan RTRWP dalam berbagai bentuk (Pasal 110).
Berdasarkan pengamatan penulis, implementasi mekanisme insentif, disinsentif, pemberian jasa lingkungan atau melakukan upaya penerimaan jasa ekosistem dari Provinsi Jawa Barat atau kabupaten lain sesuai arahan Perda tersebut belum ada atau masih terbatas. Hal ini lebih disebabkan beberapa hal yang belum didefinisikan secara jelas, yakni:
- Bagaimana mengukur dan meng-capture kerugian atau manfaat yang diperoleh akibat RTRWP?
- Menentukan dan menyelesaikan konflik hak tenure/claims atas lahan yang diberikan insentif/ disinsentif atau penerima jasa ekosistem:
– Siapa yang memiliki hak atas lahan yang akan menerima insentif dan jasa ekosistem atau disinsentif
– Siapa yang akan menerima pembayaran atas insentif dan jasa ekosistem atau disinsentif
- Bagaimana melakukan upaya perbaikan kawasan budidaya atau kawasan lindung agar sesuai dengan arahan Tata Ruang?
Model Insentif Ekonomi Dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Berbagai pengertian tentang insentif sesuai dengan masing-masing kepentingan telah disampaikan oleh banyak pakar. Insentif terkait dengan rencana tata ruang, diantaranya disampaikan Sadyohutomo (2008) yang menyatakan bahwa insentif merupakan salah satu bentuk kompensasi akibat rencana tata ruang selain kompensasi dalam bentuk pemberian uang tunai, transfer of development right/dispensasi untuk pembangunan lain, atau bentuk kompensasi lainnya. Sementara dalam Perda No. 22/2010 menyebut insentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan rangsangan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang; sementara disinsentif adalah peranrkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang.
Menurut Hernawan (2010), ada dua model insentif ekonomi yang berkembang dalam pengendalian pemanfaatan ruang di berbagai belahan dunia dewasa ini yakni model untuk melakukan pencegahan perubahan penggunaan lahan yakni menggunakan model Purchase of Development Right (PDR) dan model insentif yang mendorong pengguna/pemilik lahan mempertahakan penggunaan lahan di kawasan lindung dengan model Payment for Environmental Services (PES).
Model PDR ini adalah model insentif bagi pemilik lahan untuk mempertahankan penggunaan lahannya baik untuk pertanian, peternakan maupun hutan rakyat dari konversi penggunaan lahan terbangun baik di kawasan lindung maupun kawasan budidaya, seperti pembangunan rumah, dengan cara membeli hak membangunnya (development right). Model ini cukup efektif mempertahankan lahan pertanian di Amerika Serikat sejak tahun 1972 dan menjadikannya Negara
tersebut menjadi Negara pengekspor bahan pangan (sereal dan daging) terbesar di dunia. Syarat utama dapat diterapkan model ini adalah adanya kesadaran public dan keseriusan pemerintah dalam mencegah perubahan penggunaan lahan, khusunya lahan pertanian. Bagaimana di Indonesia? Meskipun peraturan perundang-undangan telah lengkap, namun perubahan lahan pertanian produktif terjadi sangat massive dan telah terjadi pengusiran (expulsing) lahan pertanian ke kawasan terbangun, karena rendahnya kesadaran public dan keseriusan pemerintah.
Model PES adalah model insentif bagi pemilik lahan maupun operator lahan public untuk meningkatkan jasa ekosesistem lahannya, khususnya lahan yang berada di kawasan lindung, dengan cara membeli jasa ekosistem yang dihasilkannya. Model ini cukup berhasil di Negara Amerika Latih dalam mempertahankan kawasan konservasi dan kawasan lindung, diantaranya Negara Costarica. Negara ini meskipun Negara kecil, tetapi telah mampu mendapatkan devisanya dari mempertahankan keanekaragaman hayatinya. Seperti halnya dengan model PDR, model PES menuntut persyaratan kesadaran public yang tinggi dan kemauan pemerintah setempat dalam memberi konpensasi atau bersedia membayar kepada pemilik lahan dan operator hutan lindung/konservasi atas jasa ekosistem yang dihasilkannya, seperti jasa hidrologi.
Kesimpulan
Penegakan hukum terhadap pelaku alih fungsi lahan dan perambah kawasan hutan lindung dan konservasi di hulu DAS Cimanuk adalah penting untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya dan kewibawaan pemerintah. Tetapi yang jauh lebih penting lagi untuk keberlanjutan pembangunan di Kabupaten Garut adalah pemberian rasa keadilan bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Garut dalam pemanfaatan ruang akibat penetapan RTRW Provinsi Jawa Barat. Banjir bandang di Kabupaten Garut dan kabupaten lainnya di Jawa Barat merupakan momentum yang baik untuk diterapkannya pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pengendalian tata ruang di Jawa Barat sesuai dengan Perda Jawa Barat Nomor No. 22 Tahun 2010. Bentuk mekanisme insentif/disinsentif ekonomi yang bisa dipertimbangkan adalah model PDR atau PES yang telah berhasil diterapkan di berbagai Negara dalam pengendalian tata ruang. (Mediatataruang : Dr.Ir. Endang Hernawan, M.T, M.Si, IPM)
DAFTAR PUSTAKA Hernawan, Endang. 2010. Insentif Ekonomi Guna Lahan (Land Use) Kawasan Lindung di Jawa Barat (Studi Kasus Kawasan Bandung Utara). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sadyohutomo, M. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah. Realita dan Tantangan. Bumi Aksara. Jakarta. Hal 10 -11; 47 – 48. Zhang, D., and Laband, D. 2004. Some Economic Consequences of State Reforestation Regulation in the United States. School of Forestry and Wildlife Sciences, Auburn University.
Facebook
Twitter
Google+
RSS