Media Tata Ruang – Alih teknologi merupakan pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri atau sebaliknya.
Mekanisme alih teknologi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu secara komersial dan nonkomersial.
Alih teknologi menjadi hal yng penting dalam proses kemajuan berbangsa dan bernegara. Sehingga tenaga ahli di Indonesia dapat menguasai teknologi dengan baik.
Kecuali niat alih teknologi ditunggangi dengan akar pemikiran tak sebagaimana mestinya dan akan menjadi penyakit yang akan mengakar.
Indonesia memang tak pernah punya sejarah membuat dan membangun sebuah ibukota negara baru, kecuali hanya pindah tempat karena terpaksa ngungsi.
Hiruk pikuk dan mulai memikirkan bagaimana konsep dan desainnya yang mempunyai kehandalan keberlanjutan tetapi juga tidak meninggalkan ciri khas bangsa. Konsep yang disodorkan oleh ribuan peserta sayembara konsep menarik perhatian kita, bahwa tenaga ahli design kawasan di Indonesia tak kalah dengan luar.
Sejenak terhenti karena wabah covid 19, semua aspek kencangkan ikat pinggang agar perekonomian tak terpengaruh signifikan, akan tetapi tetap saja semua lini terpengaruh, sampai menteri keuangan membatalkan semua kegiatan berbiaya DAK.
Negara kesulitan pendanaan segala lini, sampai penanganan musibah tak kunjung mendapatkan kepastian penanganan. Para pengusaha benar2 mengencangkan perut dan mulai berpikir gaji bulan depan, apalagi para pekerja (tenaga ahli) yang bekerja secara mandiri.
Ditengah keprihatinan sempat dikagetkan dengan pengumuman kegiatan perencanaan ibukota dengan dana 85 milyard (Delapan Puluh Lima Milyard) yang tidak ditenderkan sebagaimana mestinya, hanya dilaksanakan dengan jalan penunjukan langsung dan diperuntukkan perusahaan dari luar negeri padahal dana dari APBN (https://lpse.lkpp.go.id/eproc4/nontender/6740119/pengumumanpl).
Sungguh luar biasa, tak bisakah ditunda fokusnya, terhenyak kita dibuatnya karena sejatinya menyalahi aturan yng sudah ada di tanah air kita tercinta. Apalagi beredar kabar bahwa kegiatan tersebut kedua kalinya terjadi di lembaga yang justru dikepalai oleh seorang planner.
Kapan negara menghargai dan menganggap ada para planner di Indonesia yang organisasi profesinya sudah berumur 49 tahun di 13 April kemaren, bahwa saat ini sudah ada 67 sekolah perencana di seluruh Indonesia mengalahkan sekolah perencana di Asia dan Eropa.
Siapa yang mau klaim kalau kemampuan planner Indonesia tidak setara dengan planner jempolan di LN?
Semoga Kerangka Acuan Kerja nya menyaratkan Planner ber SKA dari dalam negeri, karena jika Tenaga Ahli nya juga dari LN ada persyaratan yang harus dipenuhi bahwa harus mendapatkan penyetaraan dari asosiasi profesi di Indonesia, karena kita juga tak paham selevel apa kepemilikan SKA di negara asalnya.
Transfer knowledge memang penting, tapi lebih penting niat dan pandangan para menteri, Dirjend dan direktur dilingkungan kementrian tempat dimana kegiatan tsb ada, tercerahkan bahwa percayalah tenaga ahli dalam negeri mampu melakukannya.
Bukankah pak Menteri dimana kegiatan itu ada, seorang planner ?
Discussion about this post