Mediatataruang.com – Peringatan 76 tahun usia kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah kita rayakan. Namun, setiap kali momentum itu datang, selalu saja memunculkan pertanyaan. Sungguhkah masyarakat kita merasakan dan menikmati kemerdekaan itu? Berbagai pertanyaan semacamnya, terus mengiringi perayaan kemerdekaan Indonesia pada setiap tahunnya. Budayawan Radhar Panca Dahana pernah mendakukan, ketika teriakan-teriakan “merdeka!” itu terserukan di banyak mimbar, serangkaian pawai berderak, bendera dikibarkan, panggung dibuka dan segala kemeriahan dilakukan dalam peringatan kemerdekaan, sesungguhnya dalam waktu yang bersamaan kita bingung -bahkan tak tahu- apa makna kemerdekaan itu. Dan berlawanan dengan semangat globalisasi, universalitas makna kemerdekaan kini luntur, laiknya warna sepuhan.
Kemerdekaan akan mengalami pengikisan makna, saat berbagai kebijakan dan penyelenggaraan pembangunan tidak sungguh-sungguh diorientasikan pada pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Meskipun, selalu didengungkan bahwa pembangunan adalah upaya untuk mengisi kemerdekaan di era sekarang ini. Masalahnya, apakah pembangunan tersebut betul-betul diperuntukkan bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia? Di antara yang dapat menjadi faktor pemicu lunturnya makna kemerdekaan itu, ialah seringnya soal ekologi lingkungan dan ruang hidup rakyat tidak dijadikan prioritas penting dalam pembangunan. Padahal, Prof.Otto Soemarwoto menegaskan dalam bukunya, “Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan” bahwa pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Dan karenanya, pembangunan tidak saja menghasilkan manfaat, melainkan juga membawa risiko. Namun sayangnya, ekologi pembangunan yang merupakan interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup, sangat minim untuk dicermati secara holistik. Di sinilah paradoksnya. Satu sisi dikampanyekan tentang pembangunan berkelanjutan, tetapi di sisi lain, pengabaian terhadap lingkungan hidup masih saja terus berlangsung.
Discussion about this post