Mediatataruang.com – Diskusi dan debat soal petani gurem atau petani berlahan sempit, sebetul nya telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Seminar, Lokakarya dan FGD pun sudah sering digelar. Bahkan penelitian dan kajian tentang kehidupan nya, telah cukup banyak dilakukan. Para pakar hampir tidak merasa lelah untuk membahas nya. Mereka tetap berikhtiar bagaimana agar para petani berlahan sempit ini dapat hidup lebih bermartabat.
Petani gurem bukanlah “potret petani” yang kita impikan. Kita ingin agar petani di Tanah Merdeka ini memiliki kedaulatan penuh terhadap lahan pertanian yang dikelola nya. Petani perlu memiliki lahan yang layak dan mampu mencukupi kebutuhan hidup nya. Sayang, kepemilikan lahan pertanian yang sempit (rata-rata 0,25 hektar) membuat petani gurem sukar untuk meningkatkan kualitas hidup nya. Jebakan kemiskinan tetap membelenggu kehidupan nya.
Beragam kebijakan dan program sudah digelindingkan, khusus nya yang berkaitan dengan upaya peningkatan harkat dan martabat mereka ke suasana yang lebih baik. Regulasi setingkat Undang Undang telah dilahirkan. Begitu pula dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Pertanian. Esensi nya sama, bagaimana petani perlu diberdayakan, dilindungi dan dibela, sekira nya ada pihak-pihak yang ingin memarginalkan kehidupan nya.
Namun sangat disesalkan, segudang langkah yang dilakukan ternyata belum mampu memberi hasil yang memuaskan. Petani gurem tetap saja gurem. Mereka tetap hidup menderita. Dengan kepemilikan lahan yang hanya 0,25 hektar, mereka akan tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka tetap dirundung kesengsaraan. Dan mereka pun tetap terjebak dalam lingkaran kemelaratan yang tidak berujung pangkal.
Walau Pemerintah menerapkan kebijakan subsidi benih dan subsidi pupuk bahkan diatur pula kebijakan harga nya, ternyata langkah semacam ini belum mampu secara signifikan mendongkrak kondisi kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera. Bantuan Pemerintah, baik itu yang nama nya hibah atau pun bantuan sosial juga belum mampu menuntaskan apa yang menjadi akar masalah nya.
Hidup sejahtera masih mengedepan seperti bayang-bayang kehidupan. Ibarat menangkap bayangan diri sendiri, semakin didekati semakin menjauh dari diri nya sendiri. Data dan perhitungan usahatani padi sendiri, sangat tidak mungkin akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sebuah keluarga tani jika cuma mempunyai lahan sawah sebesar 0,25 hektar saja.
Menurut Tito Pranolo (2016) dibawah ini adalah contoh nyata analisa sosial ekonomi usahatani padi dilapangan, yang dapat dicermati dalam tiga tahap. Tahap 1. Biaya produksi padi per ha kira2 Rp 12 juta. Produk per Ha 5 ton. Jadi biaya produksi per kg kira2 Rp 2400. Harga gabah (Gabah Kering Panen) kira2 Rp 4000. Jadi Profit Margin Rp 1600/kg, atau 66%.
Ini profit margin yang luar biasa, sampai disini situasi baik2 saja. Tahap 2. Total keuntungan per ha Rp 8 juta (Rp 1600 x 5000 kg). Rata2 petani hanya punya 0.25 ha, jadi keuntungannya hanya Rp 2 juta. Itu terjadi dalam waktu 3 bulan. Per bulanya Rp 660 ribu. Disini muncul masalah, ternyata keuntungan yang diperoleh jauh di bawah UMR dan tidak cukup untuk menghidupi keluarga.
Profit margin memang tinggi, tapi tidak dapat menghidupi keluarga karena skala usahanya gurem. Tahap 3. Kebijakan yg ada saat ini adalah menaikkan HPP hampir setiap tahun. Apakah langkah ini memecahkan masalah petani sebagaimana yang digambarkan di tahap 2 ?
Menyikapi hal yang demikian, sebetul nya Pemerintah tidak berdiam diri, sekali pun upaya mensejahterakan petani gurem ini identik dengan jalan ditempat. Cukup banyak langkah yang sudah dilakukan. Apakah itu yang berkaitan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia nya melalui kursus tani dan pelatihan atau pun melalui penataan kelembagaan petani nya sendiri.
Bimbingan teknis pun hampir setiap tahun anggaran dilakukan, baik melalui dana APBN atau APBD. Pendampingan dan pengawalan program hampir tidak pernah terlewatkan. Bahkan tidak sedikit kegiatan pendampingan yang ditempuh selalu mengikut-sertakan kelompok masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hirau dan peduli terhadap upaya peningkatan kesejahteraan petani.
Semua nya ini membuktikan kepada kita bahwa segenap komponen bangsa memang sangat menaruh minat guna merubah potret petani gurem ini.
Hasrat untuk mensejahterakan petani, khusus nya para petani gurem dan buruh tani, rasa-rasa nya telah mengemuka sejak lama. Di jaman Pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno sering menyebut bahwa petani adalah soko guru revolusi Indonesia.
Di era Orde Baru para penguasa negara kerap kali menyatakan bahwa petani adalah pahlawan pembangunan pangan. Hal ini cukup beralasan karena pada era inilah Indonesia mampu menghipnotis warga dunia lewat kisah sukses nya meraih swasembada beras. Petani adalah para pelaku utama yang mewujudkan prestasi membanggakan itu. Dan di masa refornasi sekarang, petani sangat pantas untuk divonis sebagai soko guru reformasi.
Pertanyaan nya adalah apakah para petani kita sudah cukup puas dengan setumpuk atribut yang melekat di diri nya, sekali pun di disisi yang lain kita saksikan pula suatu potret kehidupan kaum tani yang memprihatinkan ? Mesti nya tidak. Petani wajar untuk dapat hidup sejahtera. Sebab, hidup sejahtera adalah hak petani untuk sesegera mungkin diwujudkan oleh Pemerintah.
Petani gurem adalah fakta kehidupan yang sangat tidak mungkin kita kesampingkan keberadaan nya. Kita tidak boleh menolak kenyataan bahwa suasana kehidupan mereka benar-benar masih mengenaskan. Walau sejak puluhan tahun lalu kita berkehendak untuk mengangkat harkat dan martabat nya agar mereka layak di cap sebagai warga negara, dalam kenyataan nya cita-cita semacam ini lebih mengemuka menjadi sebuah ilusi.
Kalimat “Petani Gurem Sejahtera” lebih bernuansakan jargon politik, ketimbang kenyataan hidup sehati-hari. Padahal yang menjadi keinginan kita adalah bagaimana agar nasib dan kehidupan petani gurem menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Ini jelas sebuah pekerjaan rumah yang tidak begitu mudah untuk diselesaikan hingga tuntas. (*Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat).
Discussion about this post