Media Tata Ruang — Tidak salah kalau Pemerintah menetapkan beras sebagai komoditas politis dan strategis. Sekali nya saja kita keliru melahirkan kebijakan perberasan, hal ini dapat mengganggu stabilitas nasional. Apalagi jika bangsa ini mengalami kekurangan beras bagi warga masyarakat. Itu sebab nya, mengapa Pemerintah terlihat begitu hati-hati dalam menerapkan kebijakan perberasan.
Beras yang dinanak menjadi nasi betul-betul kebutuhan utama bangsa. Bayangkan, lebih dari 90 % rakyat kita sangat tergantung kepada nasi sebagai makanan pokok nya. Tanpa nasi seolah-olah tidak ada kehidupan. Saat waktu makan tiba, nasi sudah harus tersedia di meja makan. Bangsa kita benar-benar telah “kecanduan” nasi.
Kondisi semacam ini, tentu tidak boleh kita biarkan berlarut-larut. Ketergantungan dan kecanduan terhadap nasi harus bisa ditekan. Langkah mengerem laju konsumsi beras masyarakat sendiri, sebenar nya sudah sejak lama digarap. Berbagai kebijakan dan program penganekaragaman pangan telah diluncurkan. Banyak regulasi diterbitkan. Sayang, hasil yang dicapai belum optimal.
Seiring dengan gencar nya program meragamkan pola makan masyarakat, terkadang lahir pula kebijakan yang sifat nya tojai’ah dengan kebijakan diversifikasi pangan. Sebut saja soal Program Raskin. Akibat nya wajar, jika kemudian, kita saksikan betapa lambat nya program mengurangi ketergantungan terhadap nasi mencapai sasaran yang ditetapkan.
Laju konsumsi masyarakat terhadap beras per kapita per tahun, masih cukup tinggi. Negara-negara lain sudah mampu menekan hingga di bawah angka 80, Indonesia ternyata masih berada di atas angka 80. Hal ini sungguh mengecewakan. Kita tidak tahu secara pasti mengapa hal ini tetap terjadi. Padahal, Pemerintah sendiri telah bekerja keras mewujudkan nya.
Discussion about this post