MEDIA TATARUANG – Prosedur perizinan dan tata kelola pertambangan selama ini sangatlah semrawut.
Terlalu banyak aturan yang dibuat tetapi tumpang tindih satu sama lain, sehingga dimanfaatkan para oknum untuk dijadikan modus korupsi.
Atas kondisi itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpaksa harus turun tangan dengan membentuk satuan tugas (satgas) perbaikan perizinan dan tata kelola pertambangan.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah IV KPK Ely Kusumastuti mengatakan, tidak efektifnya pengelolaan sektor pertambangan itu karena terjadinya tumpang tindih perizinan yang membuat sistem tidak berjalan efektif.
Satgas yang dibentuk, terang Kusumastuti, diisi oleh kementerian/lembaga terkait.
Ia menegaskan, Korsup atau Koordinasi dan Supervisi KPK menganggap tumpang tindihnya perizinan itu merupakan hal yang luar biasa.
“Satgas dibentuk untuk berkoordinasi dan evaluasi tata kelola dan perizinan sektor pertambangan,” kata Ely dalam Rapat Koordinasi Terkait Perizinan dan Tata Kelola Pertambangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (3/11/2022), dikutip dari Antara.
Ely merinci, pihak-pihak yang tergabung dalam satgas perizinan itu adalah KPK, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan pemerintah daerah.
Sedangkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional rencananya akan diajak bergabung dalam waktu dekat.
Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Didik Agung Widjanarko menjelaskan bahwa lembaganya telah melakukan kajian untuk rekomendasi perbaikan di sektor perizinan dan pertambangan.
Menurutnya terdapat beberapa modus korupsi yang jamak, yang ditemui di dua sektor, yakni perizinan yang tidak didelegasikan, persyaratan perizinan tidak transparan, rekomendasi teknis fiktif, berbelit-belit hanya sebagai formalitas, sektor tambang dijadikan sumber dana politik, tumpang tindih perizinan yang di mana luas izin SDA lebih besar dari luas wilayah.
Selain itu, lanjut Didik, konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat, suap/gratifikasi/pemerasan dalam pemrosesan perizinan serta ketidakpastian peraturan dan kebijakan.
Hal itu jelas Didik, telah menghambat perwujudan potensi pertambangan untuk berkontribusi terhadap pembangunan sosial dan ekonomi.
“Oleh karena itu, hal ini harus menjadi perhatian dan diperlukan upaya bersama dalam pemberantasan korupsi di sektor perizinan dan pertambangan,” tegas Didik.
Berdasarkan data dan kajian yang dilakukan KPK pada 2016 ditemukan kasus tumpang tindih hak guna usaha sebanyak 228.361 hektare di lokasi izin pertambangan dan 8.973 hektare di lokasi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada tanaman industri (IUPHHK-HTI).
Selanjutnya, kata Didik, ditemukan seluas 21.123 hektare di lahan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan (IUPHHK-HA) dan seluas 71.080 hektare berada di kubah gambut.
Selain itu, izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah Indonesia memiliki status tidak “clean and clear”.
KPK menemukan banyak tambang mineral bukan logam dan batuan (MBLB) yang tidak menjalankan kewajiban perpajakan.
KPK mendorong para pengusaha untuk menjalankan kewajiban sebagaimana peraturan yang berlaku di Indonesia.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Ediar Usman menjelaskan sejak 2015-2017 telah dilakukan verifikasi IUP.
Hasilnya, banyak izin yang terbit dan menyimpang karena berbagai alasan, seperti data tidak diperbarui secara regular, “redundancy” data, validasi data tidak dilakukan, format tidak konsisten, minim akurasi, dan kelemahan sistem.
“Kalau beda komoditas bisa dipastikan tidak ada tumpang tindih. Namun, kalau dalam komoditas yang sama masih mungkin ada tumpang tindih,” kata Ediar.*
Discussion about this post