MEDIA TATARUANG – HHBK atau Hasil Hutan Bukan Kayu, kini menjadi target terpenting Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS HL) Musi Sumatera Selatan untuk mendongkrak kesejahteraan masyarakat.
Kepala BPDAS HL Musi, Dr Sulthani Aziz MSc, mengatakan bahwa di Sumatera Selatan hingga kini banyak masalah terkait lahan kritis, sumber daya hutan, dan sumberdaya lahan hutan.
Masalah utama yang ada, kata Aziz, biasanya tumpang tindih kawasan, di mana kawasan hutan tetapi kemudian dikuasasi oleh masyarakat.
“Kalau menurut saya ini sisa sisa ilegal loging jaman dulu. Penebangan dulu kemudian masuk ke lahannya. Nah daerah inilah yang akhirnya ditanami oleh masyarakat. Kita ketahui Sumsel ini tingkat kemiskinannya cukup tinggi, sampai 12 persen,” ujar Aziz kepada Media Tataruang, di Palembang Sumsel, Sabtu (12/11/2022).
Dengan begitu, kondisi tersebut akan selalu menjadi pemicu rusaknya kawasan hutan, selain dirusak pula oleh perkebunan yang makin marak seperti sawit, sayuran, singkong, dan lainnya.
Di sisi lain, tegas Aziz, BPDAS sendiri jika hanya terpaku menanam tanaman keras dalam menjalankan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), maka efek kesejahteraan bagi masyarakat akan lambat.
Dengan demikian masyarakat harus punya ketergantungan terhadap tanaman yang mereka tanam sendiri di kawasan hutan melalui program RHL tersebut.
“Contohnya mereka menanam kopi yang kita ketahui tidak panen sepanjang tahun. Nah, tanaman RHL itu harus jadi substitusi bagi si kopinya. Kalau orientasi layanan hanya nanam, mereka juga kan butuh makan nih, maka harus ada hasil ikutan,” tegas Aziz.
Sehingga, dengan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang lebih mendorong ke arah HHBK, maka BPDAS HL Musi sejak awal sudah fokus dalam pengembangannya.
Maka, kata Aziz, pihaknya juga melakukan pengembangan serta penyeimbangan ekosistem dari hulu ke hilir demi mendongkrak taraf hidup masyarakat sekitar hutan yang umumnya cenderung jauh dari sentuhan pembangunan.
Ditegaskan, dalam mewujudkan RHL yang mengacu pada HHBK, pertimbangannya bukan sekedar memperbarui lahan kritis atau geofisik saja, tetapi pertimbangan utamanya adalah socio culture atau kultur sosialnya.
“RHL itu sebenarnya bukan pekerjaan fisik, tapi socio culture, bagaimana kita mengubah image, paradigma, dan cara berpikir masyarakat. Tidak serta merta kita bawa bibit, peralatan, upah, kemudian mereka mau,” ungkap Aziz.
Makanya, di samping mempertimbangkan kapasitas lahan dan land suitability, BPDAS HL Musi juga mengarahkan ke jenis-jenis tanaman yang disukai masyarakat secara luas, seperti tanaman buah.
Mulai tahun 2018, kata dia, pihaknya telah mengembangkan beberapa jenis tanaman yang banyak diminati pasar, sepet pinang, durian, jengkol, alpukat, termasuk gaharu.
“Tapi belakangan gaharu sepertinya kurang diminati karena proses penanganannya cukup panjang,” katanya.
Sedangkan tanaman pinang kini menjadi primadona karena penjualannya lebih cepat, umur pohon yang hanya 4 tahun sudah berbuah, harga buah pinang nya yang cukup bagus.
“Bahkan lebih mahal dari sawit, sehingga masyarakat lebih tertarik dengan pinang,” katanya.
Dalam menentukan jenis tanaman untuk RHL, tegas Aziz, pihaknya benar-benar selektif, di mana perhitungan utamanya selain kecocokan dengan lahan, juga jenis komoditas yang permintaan pasarnya tinggi.
“Jangan sampai kita melakukan penanaman tetapi setelah serah terima nanti di tahun ketiga, tanaman itu gak ada gunanya bagi mereka. Pasar juga harus kita perhitungkan,” katanya.
BPDAS HL Musi sendiri sejak awal terus membantu masyarakat dalam mencarikan celah pasar HHBK, terlebih kini dengan SOTK atau struktur organisasi tata kerja baru, sudah mengakomodasi Seksi Kelembagaan.
“Seksi Kelembagaan ini tugasnya banyak, pertama sebagai ujung tombak untuk membangun paradigma tadi, juga membangun jejaring yang kuat dengan pasar, dengan lembaga-lembaga serta pihak lain yang berkompeten dalam penjualan produk,” terang Aziz.*
Discussion about this post