MEDIA TATARUANG – Ternyata ada sejumlah masalah krusial di balik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Upper Cisokan.
Mega proyek ini harapannya dapat berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional sebesar 1.040 MW. PLTA yang dibangun di titik perbatasan wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat diproyeksikan akan menyumbang energi listrik murah dan cepat yang mendekati 3.000 MW.
“Bagi warga Bandung Barat hal ini merupakan suatu kebanggaan, tapi sekaligus juga sebagai keprihatinan,” ujar Indra, dari Pusat Peran Serta Masyarakat untuk Pembangunan Cisokan (P2MPC) kepada MEDIA TATARUANG.
Dia melanjutkan, kebanggaan itu proyek BUMN ini berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional, dan prihatin karena terjadinya alih fungsi lahan dalam skala besar telah membawa perubahan lingkungan pada segala aspeknya.
Indra menegaskan, ketika perubahan lingkungan dalam pembangunan PLTA itu sudah menjadi suatu keniscayaan, maka selayakna pemerintah dapat mengantisipasi dampak negatifnya, paling tidak sampai usia rencana PLTA terlampaui.
“Berkaca dari penyelenggaraan PLTA Cirata dan Saguling, problematika DAM Besar memiliki kemiripan yang sama, yakni pengelola cenderung tidak mampu memberikan solusi mendasar dari dampak permanen akibat alih fungsi lahan,” ujar Indra.
Ia mencontohkan, terjadinya penurunan biodiversity, perubahan cuaca, sedimentasi reservoir dan ekses sosial pada saat dan pasca pembangunan.
BACA JUGA: Spanduk Bertuliskan ‘Pecat Dirut PLN’ Terpasang di Sekitar Pembangunan PLTA Upper Cisokan
Terlebih, lanjut dia, di kedua proyek PLTA Cirata dan Saguling, infrastruktur DAM seperti bottom outlet-nya tidak berfungsi atau bisa jadi tidak difungsikan sehingga berdampak pada penumpukan lumpur atau sedimentasi yang tak terkendali.
“Pada gilirannya akan mengubah lanskap waduk menjadi lautan lumpur yang setiap saat dapat mengancam keselamatan manusia seiring dengan proses pelapukan konstruksi bendung,” jelasnya.
Walaupun PLTA Upper Cisokan diklaim mengadopsi teknologi pump storage, tetapi tidak berarti akan terbebas dari dampak permanen waduk. Apalagi PLTA ini dibangun di daerah hulu di tengah kawasan hutan lindung.
Paling tidak, tegas Indra, mega proyek ini telah beririsan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa dan Peraturan Menteri LHK No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018, tentang Jenis Tumbuhan Satwa yang Dilindungi, yang terbit pada tanggal 29 Juni 2018.
Demikian juga kalau menilik dokumen Land Acquisition And Resettlement Action Plan (LARAP), bahwa pembangunan PLTA Upper Cisokan harusnya mempertimbangkan kelayakan dari sisi income recovery masyarakat terdampak.
“Relokasi komunal dan perlindungan habitat flora dan fauna endemic baik pada spread area (daerah tapak proyek) maupun pada spill over area (daerah penyangga),” katanya.
Terkait kehidupan masyarakat terdampak proyek PLTA Upper Cisokan, jelas Indra, secara umum profesi mayoritas masyarakat Cipongkor, Rongga, Gununghalu dan Sindangkerta adalah petani berskala gurem.
Mereka harus menutupi kekurangan pendapatan dengan nyambi menjadi buruh konstruksi musiman dan merambah hutan di bawah tegakan pinus kawasan kehutanan Bandung Selatan.
“Yang sewaktu-waktu mereka harus berhadapan dengan kegarangan polisi hutan,” jelas dia.
Adapun aspek teknis pembangunan infrastruktur PLTA Upper Cisokan, setidaknya ada tiga isu penting yang harus diperhatikan pada tahap pelaksanaan pembangunan yaitu :
1. Hutan dan Lahan Pengganti
2. Biodiversity (keaneka ragaman hayati)
3. Akses yang luas bagi Badan Usaha dan Pekerja Konstruksi setempat.
Memahami dokumen LARAP, dan klausul dalam mekanisme penerbitan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan ijin IPPKH Nomor : 63/1/IPPKH/PMDN/2016 dan dokumen dokumen sosialisasi Upper Cisokan, sesungguhnya PT PLN tidak mesti menghadapi berbagai persoalan dalam pembangunan PLTA Upper Cisokan ini.
“Faktanya pendanaan dari World Bank dibatalkan karena tidak selesainya persoalan di lapangan, yang dijelaskan melalui surat dirjen PKTL Kementrian LHK tanggal 1 Desember 2021, di mana PT PLN dilarang melakukan kegiatan di lapangan pada areal IPPKH dimaksud,” katanya.
Fakta ini diperkuat dengan hasil monitoring dan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2023. Namun anehnya, pelaksanaan proyek tersebut terus berjalan sehingga menimbulkan persoalan baru, baik di lingkup regulasi maupun di limhkup implementasi lapangan.
Fakta lainnya, pembukaan hutan lindung yang tidak sesuai prosedur dengan tidak menghadirkan tenaga teknis resmi. Pelaksana proyek juga lebih memprioritaskan tenaga kerja asing, yang telah memarjinalkan masyarakat setempat.
“Inferioritas tenaga kerja lokal dan migrasi satwa hutan ke luar hutan kini sedang berlangsung, yang membutuhkan kehadiran negara sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya eskalasi konflik,” katanya.
Seyogyanya, tegas Indra, penyelenggaraan Projek Strategis Nasional (PSN) itu tidak mewarnai proyek PLTA Upper Cisokan ini kekurangcakapan dan arogansi kepemimpinan PLN di tingkat implementasi, karena hal itu akan menjadi preseden buruk di tengah visi PLN menuju go international services.
“Kini, dokumen LARAP yang seharusnya menjadi panduan penyelenggaraan projek, seolah menjadi fatamorgana di tengan situasi masyarakat sekitar projek. Sudah saatnya PLN bertindak professional dan bijaksana dalam mengelola projek upper cisokan agar LARAP tidak berubah menjadi LAPAR bagi masyarakat sekitar,” tegasnya.(*)
Discussion about this post