Media TATARUANG – Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan, kejadian gempa bumi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Di sisi lain, kata dia, alat pemantau yang disebarkan BMKG kini juga semakin banyak.
Hal itu disampaikannya dalam webinar “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi”, yang ditayangkan kanal Youtube Teknik Geofisika ITS, Jumat (17/1/2025).
Baca juga Megathrust Selat Sunda menjadi perhatian Pj Gubernur Jawa Barat
Dwikorita pun mengingatkan pentingnya pendekatan mitigasi bencana geohidrometeorologi. Tidak hanya gempa bumi dan tsunami, tetapi juga bencana hidrometeorologi yang semakin meningkat akibat perubahan iklim.
Mengutip bahan paparannya dalam webinar tersebut, terungkap letak Indonesia memang berlokasi di pertemuan 3 lempeng utama dunia, yaitu Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Selain itu, terdapat 14 segmen sumber gempa subduksi/ megathrust, serta 402 segmen sumber gempa sesar aktif yang sudah teridentfiikas. Juga, masih banyak lagi yang belum teridentifikasi.
BMKG, lanjut Dwikorita, untuk menghadapi tantangan dinamika tektonik yang menunjukkan peningkatan aktivitas, dengan merapatkan jaringan seismograf.
Menurut Dwikorita, pada saat kejadian gempa – tsunami Aceh tahun 2004 silam, hanya ada skeitar 20 seismograf yang ada dan tidak dalam jaringan. Sejak tahun 2008, jelasnya, BMKG membangun sistem info dini gempa dan peringatan dini tsunami. Sensornya terus bertambah hingga kini mencapai ada 550 seismograf.
“Aktivitas kegempaan yang termonitor BMKG mengalami lompatan. Berdasarkan data aktivitas data gempa jangka panjang, ada pola kejadian gempa di Indonesia terus meningkat setiap tahun,” katanya, dikutip Selasa (21/1/2025).
“Rata-rata kejadian gempa di tahun 1990-2008 sekitar 2.254 gempa per tahun. Namun, tahun 2009-2017 meningkat jadi 5.389 kejadian gempa. Kemudian melompat mulai tahun 2018-2019, bahkan 2020 ya, melompat bahkan 2018 itu 12.062, 2019 itu masih 11.731,” tambahnya.
Dwikorita tak begitu saja membenarkan peningkatan kejadian gempa itu disebabkan penambahan alat, sehingga aktivitas yang terpantau dan tercatat meningkat.
Sebab, jelasnya, jumlah alat pada tahun 2009-2019 hampir sama, sekitar 170-an sensor. Namun di tahun 2019 jumlahnya melompat.
“Mulai tahun 2020 alatnya bertambah jadi sekitar 300-an lebih, ternyata kejadian gempa malah menurun. Ini mematahkan dugaan peningkatan itu karena jumlah alatnya bertambah. Jadi mungkin tektoniknya saat itu menurun,” kata dia.
“Kemudian semakin ditambah sampai tahun 2023, juga nggak naik-naik kejadiannya, meski masih di atas 11.000. Artinya bukan karena alatnya ditambah lalu jumlah gempanya meningkat, nggak,” tukasnya.
Lalu, terjadi lonjakan kejadian gempa yang signifikan di tahun 2024. Tercatat ada 29.869 kali kejadian gempa, dengan jumlah alat kurang lebih sama dengan tahun 2023.
“Poinnya di sini memang terjadi tren peningkatan aktivitas kegempaan. Terutama untuk gempa dangkal ini memang meningkat. Juga ada fenomena patahan-patahan aktif di darat semakin banyak yang jadi sumber gempa,” terangnya.
“Tren gempa merusak di Indonesia terus terjadi. Dan tahun 2024, terjadi 20 kali gempa merusak. Kalau tahun 2018-2023, 119 kali gempa merusak. Jadi tadi, ada sedikit penurunan dari tahun 2020-2023 meski masih 11.000-an, tapi gempa merusaknya semakin meningkat,” papar Dwikorita.
Discussion about this post