MEDIA TATARUANG– Di tanah tinggi Priangan, pernah tumbuh hutan-hutan yang lebat dan luhur. Kanopi hijau meneduhkan langit, akar-akar menguatkan tanah, dan udara sejuk mengalir menjadi berkah. Alam adalah ibu, hutan adalah pelindung. Itulah Tanah Sunda—tempat dimana manusia hidup berdampingan dengan alam, menghormati segala yang tumbuh dan berkembang.
Namun, sejarah mencatat bahwa dalam masa kolonial, Belanda datang dengan tangan terbuka membawa dominasi. Mereka membabat hutan-hutan itu, menggantikannya dengan kebun teh yang rapi. Teh menjadi komoditas, bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk keuntungan jauh di seberang lautan. Alam yang penuh dengan kehidupan kini digantikan dengan produk yang hanya mementingkan keuntungan sesaat.
Dedi Mulyadi Minta BPK Audit Alih Fungsi Lahan Oleh Perhutani dan PTPN
Setelah kemerdekaan, kebun teh itu diserahkan kepada negara melalui Perusahaan Perkebunan Nusantara (PTPN), dengan harapan bahwa tanah ini dapat dikelola demi kesejahteraan rakyat. Namun kenyataan berbicara lain. Lahan-lahan itu, yang dahulu penuh semangat dan potensi, kini terbengkalai. Produktivitas menurun, biaya operasional meningkat, dan kebun teh yang dulunya menjadi simbol kejayaan kini menjadi beban yang semakin berat. Tak ada lagi keseimbangan yang terjaga.
Discussion about this post