JAKARTA, MEDIA TARARUANG – Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun silam, langit Sumatera dan Kalimantan yang pekat oleh kabut asap karhutla. Saat itu, aktivitas terpaksa dihentikan, sekolah diliburkan, dan ekonomi terganggu – tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga dirasakan negara tetangga. Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia justru berubah menjadi sumber bencana.
Baca juga Raja Juli Uji Nyali, Siap Cabut IPPKH Perusahaan Tambang yang Bebal Soal Rehabilitasi Lahan
Namun, dua tahun terakhir membawa angin perubahan. Di tengah ancaman El Niño yang biasanya memicu lonjakan karhutla, Indonesia justru mencatat penurunan signifikan. Pada 2024, luas area terbakar berkurang 68% (±784.387,86 ha) dibanding 2023, bahkan turun 77% (±1.272.452,52 ha) dari 2019. Ini bukan kebetulan, melainkan hasil kerja keras, kolaborasi, dan reformasi tata kelola hutan.
Tapi, kita tidak boleh berpuas diri. Tahun 2025 akan menjadi ujian berat. BMKG memprediksi musim kemarau bertahap mulai April-September, dengan puncak Juni-Agustus. Sebanyak 14% wilayah diproyeksikan lebih kering dari biasanya, termasuk Riau, Kalimantan, dan sebagian NTT-Papua. Hotspot sudah mulai terdeteksi di Aceh, Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat-Tengah.





